Prof. Dr. H. Paisal Halim, M.Hum

Di Atas Langit Masih Ada Langit

CELENGAN MASJID DAN KADO PENGANTIN

MENGAWALI tulisan ini, nulis ingin menyuguhkan sebuah preposisi untuk ditelaah dan dicermati bersama. Preposi­si tersebut adalah bahwa tidak sedikit manusia yang hidup di permukaan bumi ini suka sekali memperlakukan sesuatu secara diskriminatif. Salah satu per­lakuan diskriminatif tersebut adalah perlakuan diskriminatif antara celengan masjid dengan kado pengantin.

Perlakuan manusia terhadap kedua kotak ini sangat mencolok dan celengan masjid selalu mendapat porsi perlakuan yang sangat memprihatinkan. Demiki­an tragisnya manusia memper­lakukan celengan masjid itu maka penulis terpanggil untuk menghadirkan tulisan ini ke hadapan para pembaca. Maksud menghadirkan tulisan ini tiada lain untuk mengetuk pintu hati kita semua agar dalam menapaki sisa-sisa hidup kita tidak dis­kriminatif terhadap celengan masjid tersebut.

Survey di lapang menunjuk­kan bahwa manusia selalu saja cenderung menganaktirikan ce­lengan masjid ini dibandirig den­gan kado pengantin. Survey ini dilakukan baik di masjid desa (masjid Jami), masjid kecamatan (masjid Raya) maupun masjid kabupaten (masjid Agung). Dari hasil pengamatan di beberapa lokasi tersebut menunjukkan bahwa isi kotak amal pada hari Jum’at sangat sedikit nilainya dibandirig dengan isi kado pen­gantin pesta perkawinan.

Perbedaan ini sangat tampak pada potret uang kotak amal yang masuk. Di setiap Jum’at hanya kebanyakan “uang monyet” (lima ratus rupiah) dan uang kertas seribu rupiah. San­gat jarang dijumpai dalam celen­gan masjid itu uang yang ber­nilai lima ribu, sepuluh ribu apalagi lima puluh ribu dan ser­atus ribu rupiah.

Sebaliknya pada kado penga­ntin, sangat jarang amplop sum­bangan berisi uang monyet dan uang seribu rupiah. apatah lagi uang receh seratus rupiah. Um­umnya dalam kado pengantin itu ditemukan minimal uang lima ribu rupiah dan tidak jarang dite­mukan uang lima puluh ribu dan uang seratus ribu rupiah.

Melihat kenyataan ini, lalu tim­bul pertanyaan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ? Ketika Dosen STKIP Cokroammoto persoalan ini penulis pertanyakan kepada rekan-rekan. Baik re­kan dosen, guru, pejabat, ustadz, dan masyarakat, tampaknya ber­bagai alasan dan jawaban yang diberikan. Salah satu di antara sekian banyak jawaban yang diberikan adalah bahwa sumban­gan celengan di masjid tidak dike­tahui siapa yang menyumbang dan berapa yang disumbangkan. Pula tidak ada dewan yuri yang menilainya kecuali Allah. Semen­tara kado pengantin, ada dewan yuri sehingga orang sangat ber­semangat bahkan berlomba menu­lis nama di setiap amplop. Laksa­na pertandirigan untuk merebut prestasi dan pretise di de pan dewan yuri. Meskipun dewan yuri itu tidak dilantik. Hal ini dilaku­kan oleh hampir kebanyakan or­ang karena setiap acara pengan­tin terdapat satu acara khusus yakni acara pembukaan kado.

Dalam acara itu, biasanya sang pengantin bersama keluarga, panitia serta dewan yuri yang tidak dilantik lainnya duduk di hadapan kado sambil menyaksi­kan acara pembukaan kado. Pada acara tersebut setiap amplop dis­ebutkan nama penyumbang berikut jumlah yang disumbang­kan. Konsekwensi logis dari ac­ara ini membuat setiap orang un­tuk mempertaruhkan harga diri melalui nilai sumbangan. Sekali lagi hat ini dilakukan karena ter­dorong oleh rasa gengsi, rasa malu dan harga diri seseorang di mata kawan sejawat dan dewan vuri yang tidak dilantik .

Bila argumentasi seperti ini di­terima maka dapat, disimpulkan bahwa ternyata keberanian sese­orang memberikan sumbangan yang banyak pada kado pengantin’ karena dipengaruhi oleh faktor `gengsi’ dan malu kepada kawan. Padahal dalam undangan penga­ntin tidak tercantum pengumuman tentang pemeriksaan kado sum­bangan. Demikian pula terhadap celengan masjid, namun menga­pa juga orang berani memberikan sepuluh ribu sampai seratus ribu bahkan lebih dari itu untuk kado pengantin ? Tetapi untuk celen­gan masjid mengapa orang han­ya berani menyumbang antara seratus rupiah hingga seribu ru­piah saja. Lagi-lagi jawabnya ten­tu terpulang pada rasa malu dan harga diri masing-masing. Baik ter­hadap sahabat maupun kolega. Padahal malu kepada Allah sungguh sangat jauh lebih baik ketimbang dengan malu kepada sesa­ma manusia.

Dilihat dari segi manusia yang hadir pada kedua acara tersebut (Shalat Jum,at dan pesta perkaw­inan) relatif tidak ada perbedaan yang mencolok. Pada acara sha­lat Jum’at dan pesta perkawinan selalu dihadiri oleh berbagai ka­langan. Ada politisi, akademisi, birokrasi, penguasa, pengusaha, ulama, hakim, jaksa, polisi dan sebagainya. Namun nasib celen­gan masjid tetap sama saja.

Kenyataan ini sungguh sangat menarik untuk dikaji, sebab manu­sia yang hadir relatif sama namun nilai hasil sumbangan berbeda bahkan sangat jauh berbeda. Padahal nilai sumbangan di masjid balasannya akan diriikmati pada had kemudian. Di sisi lain sumbangan yang diberikan dalam bentuk kado pengantin nilainya hanya berupa `stempel’ pujian semata.

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa harta yang sebenarnya dan yang-abadi dimiliki oleh manusia bukan yang tertulis dalam akte; tertulis dalam sertip­ikat; tersimpan dalam berbagai deposito; atau berupa emas, ber­lian, tanah, kendaraan dan rumah mewah. Melainkan hanyalah har­ta yang disumbangkan pada jalan Allah yang salah satu di antaranya adalah sumbangan pada ce­lengan masjid.

Patut dikemukakan bahwa setiap orang yang membelanjakan sebahagian rezkinya di jalan Al­lah maka pada saat itu Malaikat mencatatnya. Bukan itu saja bah­kan Malaikat akan menambah ca­haya lampu penerang baginya di alam kubur nanti.

Kuburan sungguh sarat dengan pelajaran yang sangat ber­harga bagi manusia bila mau men­jadikannya sebagai cermin. Di tempat itu jutaan sudah manusia telah terkubur, seperti profesor, jenderal, presiden, hartawan, penguasa, pengusaha, dokter, paranormal, pendekar, jagoan, ul­ama, rakyat jelata dan sebagain­ya. Kesemuanya telah menginap di lorong tanpa cahaya nan sem­pit. Kecuali bagi mereka yang se­lama hidupnya banyak mengisi celengan masjid dan tabungan deposito akhirat lainnya.

Suka atau tidak suka tempat itu pasti akan kita tinggali. Karena itu mari kita bersiap-siap. Mari kita berbenah diri, mari menghitung amal kebajikan dan dosa yang pernah kita perbuat. Mari perban­yak amal kebajikan karena sung­guh hanya amal kebajikan itulah menjadi saudara dan sahabat yang paling setia.

Berkaitan dengan sumbangan celengan masjid ini, ada kisah yang menarik dan patut untuk di­contoh. Kisah tersebut dikemuka­kan oleh rekan sejawat penulis saat mengantar keluarga di peris­tirahatannya yang terakhir (kubur). Saat itu dia berkata bah­wa sang mayat ini, setiap hari Jum’at selalu menunggu siapa saja yang lewat-di depan rumah­nya untuk berangkat ke masjid melaksanakan shalat Jum’at.

Hal itu dilakukan sekedar ingin menitipkan uangnya di celengan masjid. Karena kebetulan perem­puan sehingga tidak wajib be­rangkat shalat Jum’at di masjid. Kehidupannya sangat sederhana. la rakyat biasa dan tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun karena kesungguhan dan keyakinannya yang kuat sehing­ga ia selalu terdorong menambah deposito akhiratnya melalui celengan masjid demi untuk menambah cahaya di alam kubur .

Karena itu kita ber­harap semoga janji tersebut dapat kita hayat, kita resapi dan kita wujudkan dalam kehidupan kese­harian. Baik melalui ibadah ritual ( Shalat, puasa, zakat dan haji ) maupun melalui ibadah social melalui celengan masjid. Celen­gan masjid saya, masjid Anda dan masjid kita semua.

Namun, bila nasib celengan masjid potretnya terus berlang­sung seperti itu, maka mungkinkah celengan masjid tersebut masih perlu dipertahankan keha­dirannya di dalam masjid ? Atau diupayakan dalam bentuk yang lain, semisal di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi yang tidak ada celengan masjid. Jawabnya tentu terpulang,pada perhatian dan keseriusan pemerintah, ula­ma, tokoh masyarakat. Terutama perhatian dan keseriusan para tokoh agama dan cendekiawan muslim yang ada di republik ini dalam memikirkan hal tersebut.

Kita berharap, semoga Tuhan senantiasa menurunkan hidayah dan taufiq-NYA kepada kita se­mua agar kita tetap diberikan kekuatan, kemampuan, ketulusan dan keberanian untuk membelan­jakan sebagian reski yang diberi­kan ke dalam celengan masjid. Semisal keberanian dan ketulus­an memasukkan sumbangan kado pengantin.

Hal ini perlu kita panjatkan doa, karena berapa banyak orang yang telah diberikan reski berupa pangkat, jabatan, kekuatan, kese­hatan, keselamatan, kemampuan dan sebagainya. Namun sering lupa diri dan lupa pada yang maha memberi semua itu. Bahkan men­jadi kikir, bakhil, angkuh, som­bong dan lupa sujud kepada sang maha pencipta.

Adalah suatu prilaku yang san­gat memalukan dan memilukan di hadapan Allah Swt. Apabila ter­dapat seseorang yang mengaku beriman, lalu mengingkari sendiri janji yang diucapkan . Janji terse­but diucapkan saat melaksanakan shalat minimal lima kali sehari se­malam melalui nomor telepon 42443. Yakni Shalat Isya, Subuh, Dhuhur, Ashar dan Magrib.

Melalui telepon itulah, setiap orang beriman berjanji: Ya Allah, sesungguhnya shalatku, ibadah­ku, usahaku, hidup dan matiku, seluruhnya kuserahkan kepada­MU. Janji tersebut direkam, dicatat dan dibukukan dalam file yang sangat rapi untuk digunakan se­bagai salah satu alat bukti yang akan dipergunakan pada penga­dilan akhirat kelak.

Semoga tulisan ini dapat menggugah hati dan piki­ran kita semua untuk kembali mer­enung sekaligus bercermin bahwa hidup ini hanyalah tempat transit semata, tempat transit untuk mencari bekal yang akan di­gunakan dalam perjalanan menu­ju akhirat. Karena itu setiap perbuatan manusia akan dimintakan pertanggung-jawabannya, bahkan setiap pikiran, ucapan, nafas dan gerak-gerik manusia senantiasa dibidik, direkam dan dibukukan oleh Malaikat. Termasuk sikap, perlakuan dan tindakan diskrimi­natif yang sering kita lakukan ter­hadap celengan masjid.

Filed under: Opini Islami,

MTQ DAN DELEGASI BAYARAN

SEJARAH  mencatat bahwa pada tahun 1981 Kabupaten Luwu pernah melaksanakan MTQ tingkat propinsi Sulawe­si Selatan. Pelaksanaan MTQ tersebut merupakan sejarah baru bagi Kabupaten Luwu karena pada masa itu kabupat­en ini telah mengubah opini publik bahwa hanya ibukota propinsi sajalah yang mampu melaksanakan MTQ tingkat propinsi. Opini publik ini gugur dengan sendirinya tatkala Men­teri Agama bersama rombongan mengacungkan jempol kepada pemerintah dan masyarakat Kabupaten Luwu pada saat itu. Acungan jempol ini diberikan oleh Menteri Agama atas prestasi gemilang yang ditun­jukkan pada pembukaan MTQ tingkat propinsi tersebut.

Perlu diketahui bahwa pada awalnya, sejumlah pengamat di luar daerah banyak yang mera­gukan kemampuan daerah ini untuk melaksanakan event sekelas tingkat provinsi. Beta­pa tidak, dari segi geografis, le­tak Kabupaten Luwu sangat jauh dari Ibukota propinsi; pe­rumahan dan listrik kala itu tidak seindah sekarang; kesiapan sarana dan prasarana belum memadai bahkan sertifikasi menangani kegiatan besar semi­sal kegiatan tingkat propinsi belum dimiliki oleh Kabupaten Luwu kala itu. Apatab lagi keg­iatan MTQ tingkat propinsi baru pertama kali akan dilaku­kan di luar wilayah ibukota propinsi Sulawesi Selatan.

Namun berkat keuletan dan kegigihan Bapak Bupati Luwu dalam memberikan keyakinan kepada semua pihak akhirnya permohonan menjadi tuan rumah dapat diterima. Bupati Luwu pada saat itu adalah ba­pak Drs.B. Abdullah Suara. Dengan diterimanya permohonan menjadi tuan rumah maka seluruh komentar yang di­ragukan oleh para pengamat dari luar ditindaklanjuti dengan membangun segala sarana dan prasarana yang diperlukan demi suksesnya MTQ tersebut. Puncak pembangunan mer­cusuar yang dibangun pada tahun 1981 adalah stadion Laga­ligo dalam kurun waktu yang relatif singkat:

Di stadion itulah Bapak Men­teri Agama bersama rombon­gan dan para khalifah dari berb­agai kabupaten di propinsi Su­lawesi Selatan terpesona dan terkagum-kagum menyaksikan pelaksanaan pembukaan MTQ tingkat propinsi. Meskipun pembukaan kala itu diguyur dengan hujan lebat namun tidak mengurangi sedikitpun seman­gat panitia pelaksana bersama masyarakat menyuguhkan tari­an konfigurasi yang cantik dari putra-putri Luwu pada saat itu. Semua orang yang hadir pada malam tersebut terkagum­-kagum melihat indahnya ke­masan panggung kehormatan dan panggung tilawah serta panggung kafilah yang tertata manis dan rapih. Tautan warna dekorasi yang anggun; cara menyapa yang santun dari, pan­itia; sorotan lampu yang gemer­lap dan senyum ramah dari masyarakat di daerah ini.

Demikian suksesnya acara ini sehingga hanya satu kalimat ‘ yang keluar di bibir kafilah pada saat itu yakni “Luwu pantas jadi tuan rumah karena sejak dahulu Tana Luwu ini terkenal dengan julukan Wanua Map­patuo Naewai Alena . Mulai saat itulah (tahun 1981) model dan gaya pelaksanaan MTQ tingkat kabupaten mirip dengan model MTQ tingkat propinsi. Baik dari segi penataan pang­gung kehormatan, panggung tilawab dan sebagainya. Bahkan pemerintah bersama masyarakat di sebuah kecamatan yang menjadi tuan pelak­sanaan MTQ tingkat Kabupat­en merasa tidak puas apabila tidak mirip dengan pelaksanaan tingkat propinsi meskipun harus ditebus dengan dana yang mahal.

Yang lebih menarik lagi adalah meskipun disadari bahwa men­jadi tuan rumah dalam pelaksanaan MTQ tingkat Kabu­paten menelan biaya yang mahal namun setiap tahun lama­ran dari berbagai kecamatan untuk menjadi tuan rumah pel­aksanaan MTQ selalu saja antri bermohon pada LPTQ Kabupat­en. Bagi LPTQ Kabupaten, lama­ran tersebut tidak serta merta di­terima begitu saja. Setiap lama­ran yang masuk selalu dirapat­kan dalam rapat pleno lengkap dengan mempertimbangkan kon­disi dan potensi wilayah. Hal ini dilakukan karena menyadari bahwa event MTQ TK. Kabupaten merupakan syiar Islam sekaligus menjadi harga diri dan prestise bagi seluruh umat Islam. Hanya saja sangat disayangkan karena kita banyak tergiring pada ke­beranian meletakkan anggaran MTQ untuk keperluan penataan fisik semata. Sementara angga­ran pembinaan sumber daya manusia seperti qari’ dan qariah sangat minim.

Tampaknya kita lebih ber­bangga dengan kesuksesan menampilkan dekorasi yang indah sementara kita menafikkan pem­binaan SEW di daerah ini. Aki­batnya kita lebih memilih jalan pintas yakni menyewa delegasi dari berbagai Kabupaten hanya untuk sebuah prestasi dan pres­tise. Padahal pilihan tersebut sungguh memalukan dan memilukan bagi daerah seperti Kabu­paten Luwu yang mayoritas be­ragama Islam.

Patut dikemukakan bahwa selama MTQ berlangsung di Kabupaten Luwu dari tahun ketahun selalu berlangsung dengan sangat menakjubkan. Menakjubkan baik di lihat dari segi penataan lokasi kafilah, penataan panggung penataan tilawah dan panggung kehormatan, konfigurasi, tarian mas­sal pada saat pembukaan, pelican warna lampu, partisipasi masyarakat dalam bat penyia­pan akomodasi dan konsumsi, kepiawaian panitia menyambut dan menerima tamu, kesiapan barisan pengamanan mengam­ankan MTQ, bahkan sampai pada pilihan menyiapkan piala dan bonus bagi pemenang lomba dalam MTQ.

Itu sebabnya setiap orang yang menyaksikan pelaksanaan MTQ mulai dari pembukaan sampai penutupan selalu terperanjat akibat kesempurnaan pelaksanaannya. Hal ini dikemukakan oleh beber­apa undangan baik tamu dan berbagai kabupaten, tamu dari provinsi atau masyarakat kabu­paten Luwu yang berada di rantauan orang selalu memberikan jempol kepada panitia pelaksa­na. Acungan jempol ini di beri­kan karena sangat puas dan bangga melihat cara kerja pani­tia, pemerintah dan masyarakat kabupaten Luwu dalam menyukseskan MTQ sebagai salah satu media syiar Islam.

Dikatakan sebagai salah satu media syiar Islam karena pada event MTQ kita dapat menggir­ing generasi muda Islam mulai dari tingkat anak-anak, remaja dan dewasa dididik untuk mam­pu membaca Alquran dengan suara yang merdu, meresapi maknanya lewat syar’il Alqu­ran, menghapal qur’an mulai dari 1 juz sampai 30 juz bahkan sampai pada kaligafi. Dengan kegiatan seperti int, secara kon­septual dan faktual kita telah membina generasi muda Islam sebagai generasi qur’ani. Bu­kan itu saja bahkan kita telah melaksanakan syiar Islam se­cara terbuka kepada seluruh lapisan masyarakat banyak di wilayah tersebut.

MTQ telah berlalu, MTQ tetap di tutup. Pula seluruh kaf­ilah dari berbagai kecamatan telah kembali ke rumah masing­-masing dengan membawa seju­ta kesan tersendiri. Ada yang puas dan ada yang kecewa. Puas karena telah merebut piala be­serta bonusnya. Kecewa kare­na cita-cita untuk meraih juara masih tertunda. Sorak sorai pe­nonton terus bergemuruh, tepuk tangan, dan jabat tangan terus berlangsung. Baik kepada para pemenang maupun kepada dewan yuri. Pemberian ucapan selamat dan terima kasih terus berdatangan baik dari Bupati, Muspida. dan panitia kepada tuan rumah (Camat dan Masyarakatnya) bat itu diberi­kan karena benar-benar telah mempersembahkan yang terbaik atas berlangsungnya MTQ.

Namun demikian beberapa bal yang perlu direnungi ber­sama yang berkaitan dengan pelaksanaan MTQ ini yakni: merebut piala dalam MTQ meru­pakan suatu prestasi, kebang­gaan dan kehormatan dari se­mua delegasi. Tetapi perlu diin­gat bahwa piala tersebut bukanlah tujuan utama melainkan tujuan antara semata. Menghadirkan piala sebanyak-banyaknya dapat dilaksanakan den­gan berbagai cara. Namun seka­li lagi, piala bukanlah tujuan utama. MTQ dilakukan semata­ – mata untuk menggerakkan semua lapisan bawah agar masyarakat dan pemerintah da­pat membina generasi muda Is­lam sebagai generasi Qur’ ani di daerahnya. Dengan asumsi piki­ran bahwa bila bat ini terwujud maka akan terbangun generasi qurani di suatu wilayah yang pada akhirnya akan terban­gun masyarakat madani di wilayah tersebut.

Bila bat ini di sadari oleh se­mua pihak (pemerintah dan masyarakat) maka gaya menyewa peserta , gaya mem­bayar mahal; gaya “mengim­por”. Qori dan Qoriab dari ber­bagai kabupaten untuk meraih sebuah prestasi dan prestise sepatutnya tidak layak untuk dilakukan. Karena gaya terse­but sungguh tidak mendidik dan bahkan akan mematikan pembinaan generasi qur’ani di daerah tersebut. Patut diakui bahwa potret menyewa dele­gasi di setiap event MTQ selalu saja ada. Baik event MTQ tingkat Kabupaten, Provinsi, tingkat nasional maupun tingkat intemasional. Potret seperti ini sudah berlangsung lama bahkan sejak MTQ itu ada. Hanya saja sangat disayangkan karena tekad untuk merubah bat ini belum tampak. Baik dari pihak LPTQ, pemerintah, masyarakat maupun dari berb­agai tokoh agama.. Padahal gaya menyewa delegasi seperti ini merupakan paradigma lama yang tidak mendidik bahkan mematikan pembinaan generasi qur’ani secara tidak langsung.

Karena itu sudah sepatutnya pemerintah bersama panitia pel­aksana menghentikan gaya ini dengan membuat kriteria yang ketat dalam pelaksanaan MTQ. Karena gaya tersebut sungguh sangat memalukan dan memilu­kan bagi kita sebagai umat Is­lam. Gaya seperti ini justru mem­buka kartu betapa kurangnya perhatian pemerintah, masyarakat dan tokoh-tokoh agama dalam membina umat di daerah tersebut. Bahkan den­gan gaya menyewa Qori dan Qoriah dari berbagai daerah menunjukkan pula betapa mis­kinnya generasi Qur’ani di sebuah daerah penyewa itu. Lalu pertanyaan yang muncul, men­gapa gaya ini masih tetap ada? Jawabnya, sekali lagi karena pemerintah, masyarakat dan tokoh agama di daerah penyewa delegasi kurang me­miliki rasa kepedulian dan tang­gung jawab terhadap pemban­gunan masalah keagaamaan khususnya dalam pembinaan tulis baca Alquran.

Alangkah indahnya suatu daerah apabila pemerintah, tokoh agama, masyarakat dan pengurus LPTQ mau peduli dengan penyakit yang menim­pa ini. Apatab lagi bila mereka mau duduk bersama sekaligus mencanangkan tahun 2003 se­bagai tahun “peduli qur’an”. Dengan pencanangan tersebut, semua potensi wilayah akan bergerak mulai dari tingkat RT, RW, Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Dengan gerakan tersebut, surau, Musallah, masjid dan Taman Pendidikan Alquran dengan sendirinya akan hidup. Bahkan guru men­gaji pun akan terhargai di mata masyarakat.

Bila bat ini dapat dilakukan dengan baik, Insya Allah  pada pelaksanaan MTQ tahun 2004 setiap daerah dan kecamatan akan muncul dengan dari dan qariah-nya yang asli. Semoga saja pada tahun 2004, gaya menyewa gaya membayar mahal, gaya mengimpor qari’ dan qariah demi sebuah prestasi dan pre’stise tidak lagi dipertontonkan pada MTQ 2004. Karena sungguh sikap dan pe­rilaku tersebut tidak terpuji dan akan mematikan pembinaan generasi qur’ani di suatu wilayah. Karena itu penulis mengajak pada kita semua, un­tuk merapatkan harisan guna menjadikan tahun 2003 im se­bagai tahun “gerakan peduli Qur’an”. Sebab kalau bukan sekarang kapan lagi dan kalau bukan kita siapa lagi. Semoga saja demikian!

Filed under: Opini Islami

CATATAN PINGGIR MTQ

MUSABAQAH Tilawatil Qur’an (MTQ) merupakan salah satu model syiar Islam yang perlu terus dibina, dikembangkan dan dilestari­kan. Tanggung jawab untuk membina, mengembangkan dan melestarikan adalah tanggung­jawab setiap orang yang ber­predikat sebagai muslim. Kare­na itu saya, Anda dan kita se­mua sebagai muslim berkewa­jiban moral untuk membina, mengembangkan dan melestari­kan kegiatan tersebut

Wujud tanggung jawab itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kemam­puan masing-masing. Salah satu wujud pelaksanaan tang­gung jawab tersebut adalah memberikan kontribusi berupa saran, usul dan kritikan yang si­fatnya konstruktif demi penyempurnaan pelaksanaan MTQ di masa mendatang. Be­rangkat dari rasa memiliki tang­gung jawab tersebut, melalui tu­lisan ini, penulis menyuguhkan saran, pertimbangan dan piki­ran baik kepada pemerintah maupun kepada panitia pelak­sana. Suguban berupa pikiran, saran dan pertimbangan ini penulis kemas dalam satu bing­kai tulisan dengan istilah “Catatan Pinggir yang Tercecer dalam MTQ”. Sekali lagi catatan ping­gir yang penulis suguhkan ini tiada lain demi penyempurnaan pelaksanaan MTQ di masa depan. Selain itu penulis juga berharap, semoga saran, pikiran dan pertimbangan ini dapat menjadi obat kuat atau setidak­tidaknya menjadi multivitamin bagi kita semua dalam menata MTQ di masa depan.

Saran dan pertimbangan ini penulis ajukan berdasarkan atas pengamatan, pendengaran dan rekaman penulis dari tahun ke tahun selama berlangsung MTQ di Kabupaten Luwu. Se­bagai saran, pikiran dan pertim­bangan dari seorang pengam­at, tentu kebenarannya sangat relatif. Karena itu saran dan pertimbangan tersebut bukanlah kunci pas yang harus diter­ima, melainkan kunci Inggris yang bisa dipegang atau juga bisa diabaikan.

Namun yang jelas dan pasti sejak MTQ dilaksanakan di Kabupaten Luwu maka sejak itu pula selalu saja ada catatan pinggir yang ditulis oleh berb­agai pihak. Baik catatan ping­gir untuk panitia, maupun catatan pinggir untuk pemerintah di tingkat kecamatan dan kabu­paten. Patut diakui bahwa pemerintah tidak pernah alergi me­nerima berbagai saran, usul dan kritikan dari berbagai pihak. Bu­kan itu saja bahkan pemerintah bersama panitia pelaksana se­lalu beritikad baik untuk terus penyempurnaaan pelaksanaan MTQ ini, karena MTQ merupa­kan suatu prestasi, prestise sekaligus harga diri kita semua sebagai seorang muslim.

Kondisi ini menunjukkan bahwa catatan pinggir yang tercecer ini bukan tidak dipabami oleh panitia pelaksana bersama pemerintah melainkan tidak adanya keinginan dari berbagai pihak untuk mengubah sikap dan pola pikir kita terhadap catatan pinggir yang tercecer itu. Itu sebabnya catatan ping­gir MTQ ini selalu saja muncul dalam lampiran lubuk hati sese­orang. Catatan pinggir pinggir yang tercecer itu adalah sikap dan prilaku kurang menghargai dewan yuri sebagai orang terhormat yang memiliki keahlian khusus. Dikatakan memiliki keahlian khusus karena tidak semua orang memiliki keahlian seperti yang dimiliki oleh para dewan yuri MTQ.

Sikap kurang menghargai Dewan yura sebagai orang yang terhormat dalam sebuah event semisal MTQ adalah sebuah pemandangan yang tidak indah dipandang mata. Patut untuk diakui bahwa untuk menjadi dewan yuri selama satu ming­gu di pentas semisal MTQ tidaklah sembarang orang. Pe­milihannya pun sangat ketat. Para dewan yuri yang diangkat harus memiliki wawasan yang luas, qiraat yang baik; mengua­sai Ilmu Nahwu, syaraf dan taj­wid; mengetahui asbabun nush­ul alqur’an, menghafal Alqur’an dan sebagainya. Bukan itu saja bahkan seorang dewan yuri yang akan diangkat harus terpercaya, memiliki integritas dan loyalitas tinggi, patut diteladani serta memiliki sikap dan prilaku akblakul qarimah.

Persyaratan di atas sangat langka dimiliki oleh seseor­ang sehingga kita patut men­gatakan bahwa orang-orang yang diangkat dan dipilih se­bagai dewan yuri pada event MTQ Kabupaten merupakan kumpulan orang-orang pili­ban dan terhormat. Karena itu adalah suatu bal yang sangat wajar apabila panitia pelaksana bersama pemerintah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada mereka sebagaimana layakn­ya memberikan penghargaan dan penghormatan kepada orang yang memiliki kecakapan dan keahlian khusus.

Pemberian penghargaan dan penghormatan yang lay­ak bagi para dewan yuri adalah suatu yang mutlak. Beta­pa tidak, tengoklah di hari pembukaan MTQ. Seluruh mata pada hari pembukaan itu tertuju pada Dewan Hakim. Hanya mereka yang memakai baju kehormatan dan baju ke­besaran. Baju berwarna hitam pekat semisal baju kebesaran hakim. Mereka mengangkat sumpah atas nama Allah ; mereka mempertaruhkan dirin­ya dalam bentuk pemberian nilai; mereka akan memper­tanggungjawabkan nilai yang diberikan tidak hanya di hadapan manusia tetapi juga di hadapan Allah . Mereka rela duduk berjam jam; mereka ber­pikir, dan penuh konsentrasi memilah, memilih dan mem­banding alunan suara, tajwid dan qiraat masing-masing pe­serta.

Mereka bekerja siang dan malam, mereka meninggalkan isteri dan anak; bahkan mereka meninggalkan berbagai macam usaha dan tugas dan amanah yang diberikan kepadanya. Bila kita mau merenungi peran, tanggung jawab, kesetiaan yang dipersembahkan para dewan yuri yang  terhormat ini pada event MTQ. pasti kita terdorong untuk mem­berikan penghargaan yang ter­baik padanya.

Betapa tidak, dekorasi nan indah; konfigurasi yang mem­pesona; panggung tilawah dan panggung kehormatan yang anggun; penjemput tamu yang santun; kesemuanya kita bera­ni bayar mahal berapun jumlah­nya. Bahkan proposal yang diajukan oleh yang berkompeten terhadap kebutuhan di atas hampir-hampir tidak pernah di­tolak. Lalu bila bal yang sekunder seperti ini kita berani membayar mahal, mengapa pula bal yang primer semisal pemberian penghargaan terhadap dewan yuri kita tidak berani membayar mahal? Jawabnya tentu terpulang pada pola pikir, pola sikap dan pola pandang kita melihat posisi dewan yuri pada event MTQ itu. Tetapi patut untuk direnun­gi bersama bahwa pelaksanaan event semisal MTQ betapa pun megahnya, betapapun cantik dekorasinya; betapapun mem­pesona konfigurasi yang dita­mpilkan namun bila tanpa dihadiri oleh dewan yuri tiada arti semua itu. Sebab tampilan di atas hanyalah sebatas kegiatan pemanis MTQ semata.

Filed under: Opini Islami

RSS Detik.com

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

RSS TVone International News

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

RSS Dunia Pendidikan Indonesia

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.
Welcome Myspace Comments

Penulis

Waktu

Tulisan-tulisan yang telah dimuat di berbagai media cetak lokal seperti Palopo Pos, Harian Fajar, Majalah Payung Luwu dan BUletin BPSDM yang memaparkan tentang fenomena sosial yang terjadi di Indonesia serta karya-karya yang bernafaskan Islam.

Anda Pengunjung Ke

Telah dikunjungi oleh

  • 184,998 pembaca

Deteksi Lokasi

Terima Kasih Kunjungannya

Thank You Myspace Comments