MENGAWALI tulisan ini, nulis ingin menyuguhkan sebuah preposisi untuk ditelaah dan dicermati bersama. Preposisi tersebut adalah bahwa tidak sedikit manusia yang hidup di permukaan bumi ini suka sekali memperlakukan sesuatu secara diskriminatif. Salah satu perlakuan diskriminatif tersebut adalah perlakuan diskriminatif antara celengan masjid dengan kado pengantin.
Perlakuan manusia terhadap kedua kotak ini sangat mencolok dan celengan masjid selalu mendapat porsi perlakuan yang sangat memprihatinkan. Demikian tragisnya manusia memperlakukan celengan masjid itu maka penulis terpanggil untuk menghadirkan tulisan ini ke hadapan para pembaca. Maksud menghadirkan tulisan ini tiada lain untuk mengetuk pintu hati kita semua agar dalam menapaki sisa-sisa hidup kita tidak diskriminatif terhadap celengan masjid tersebut.
Survey di lapang menunjukkan bahwa manusia selalu saja cenderung menganaktirikan celengan masjid ini dibandirig dengan kado pengantin. Survey ini dilakukan baik di masjid desa (masjid Jami), masjid kecamatan (masjid Raya) maupun masjid kabupaten (masjid Agung). Dari hasil pengamatan di beberapa lokasi tersebut menunjukkan bahwa isi kotak amal pada hari Jum’at sangat sedikit nilainya dibandirig dengan isi kado pengantin pesta perkawinan.
Perbedaan ini sangat tampak pada potret uang kotak amal yang masuk. Di setiap Jum’at hanya kebanyakan “uang monyet” (lima ratus rupiah) dan uang kertas seribu rupiah. Sangat jarang dijumpai dalam celengan masjid itu uang yang bernilai lima ribu, sepuluh ribu apalagi lima puluh ribu dan seratus ribu rupiah.
Sebaliknya pada kado pengantin, sangat jarang amplop sumbangan berisi uang monyet dan uang seribu rupiah. apatah lagi uang receh seratus rupiah. Umumnya dalam kado pengantin itu ditemukan minimal uang lima ribu rupiah dan tidak jarang ditemukan uang lima puluh ribu dan uang seratus ribu rupiah.
Melihat kenyataan ini, lalu timbul pertanyaan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ? Ketika Dosen STKIP Cokroammoto persoalan ini penulis pertanyakan kepada rekan-rekan. Baik rekan dosen, guru, pejabat, ustadz, dan masyarakat, tampaknya berbagai alasan dan jawaban yang diberikan. Salah satu di antara sekian banyak jawaban yang diberikan adalah bahwa sumbangan celengan di masjid tidak diketahui siapa yang menyumbang dan berapa yang disumbangkan. Pula tidak ada dewan yuri yang menilainya kecuali Allah. Sementara kado pengantin, ada dewan yuri sehingga orang sangat bersemangat bahkan berlomba menulis nama di setiap amplop. Laksana pertandirigan untuk merebut prestasi dan pretise di de pan dewan yuri. Meskipun dewan yuri itu tidak dilantik. Hal ini dilakukan oleh hampir kebanyakan orang karena setiap acara pengantin terdapat satu acara khusus yakni acara pembukaan kado.
Dalam acara itu, biasanya sang pengantin bersama keluarga, panitia serta dewan yuri yang tidak dilantik lainnya duduk di hadapan kado sambil menyaksikan acara pembukaan kado. Pada acara tersebut setiap amplop disebutkan nama penyumbang berikut jumlah yang disumbangkan. Konsekwensi logis dari acara ini membuat setiap orang untuk mempertaruhkan harga diri melalui nilai sumbangan. Sekali lagi hat ini dilakukan karena terdorong oleh rasa gengsi, rasa malu dan harga diri seseorang di mata kawan sejawat dan dewan vuri yang tidak dilantik .
Bila argumentasi seperti ini diterima maka dapat, disimpulkan bahwa ternyata keberanian seseorang memberikan sumbangan yang banyak pada kado pengantin’ karena dipengaruhi oleh faktor `gengsi’ dan malu kepada kawan. Padahal dalam undangan pengantin tidak tercantum pengumuman tentang pemeriksaan kado sumbangan. Demikian pula terhadap celengan masjid, namun mengapa juga orang berani memberikan sepuluh ribu sampai seratus ribu bahkan lebih dari itu untuk kado pengantin ? Tetapi untuk celengan masjid mengapa orang hanya berani menyumbang antara seratus rupiah hingga seribu rupiah saja. Lagi-lagi jawabnya tentu terpulang pada rasa malu dan harga diri masing-masing. Baik terhadap sahabat maupun kolega. Padahal malu kepada Allah sungguh sangat jauh lebih baik ketimbang dengan malu kepada sesama manusia.
Dilihat dari segi manusia yang hadir pada kedua acara tersebut (Shalat Jum,at dan pesta perkawinan) relatif tidak ada perbedaan yang mencolok. Pada acara shalat Jum’at dan pesta perkawinan selalu dihadiri oleh berbagai kalangan. Ada politisi, akademisi, birokrasi, penguasa, pengusaha, ulama, hakim, jaksa, polisi dan sebagainya. Namun nasib celengan masjid tetap sama saja.
Kenyataan ini sungguh sangat menarik untuk dikaji, sebab manusia yang hadir relatif sama namun nilai hasil sumbangan berbeda bahkan sangat jauh berbeda. Padahal nilai sumbangan di masjid balasannya akan diriikmati pada had kemudian. Di sisi lain sumbangan yang diberikan dalam bentuk kado pengantin nilainya hanya berupa `stempel’ pujian semata.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa harta yang sebenarnya dan yang-abadi dimiliki oleh manusia bukan yang tertulis dalam akte; tertulis dalam sertipikat; tersimpan dalam berbagai deposito; atau berupa emas, berlian, tanah, kendaraan dan rumah mewah. Melainkan hanyalah harta yang disumbangkan pada jalan Allah yang salah satu di antaranya adalah sumbangan pada celengan masjid.
Patut dikemukakan bahwa setiap orang yang membelanjakan sebahagian rezkinya di jalan Allah maka pada saat itu Malaikat mencatatnya. Bukan itu saja bahkan Malaikat akan menambah cahaya lampu penerang baginya di alam kubur nanti.
Kuburan sungguh sarat dengan pelajaran yang sangat berharga bagi manusia bila mau menjadikannya sebagai cermin. Di tempat itu jutaan sudah manusia telah terkubur, seperti profesor, jenderal, presiden, hartawan, penguasa, pengusaha, dokter, paranormal, pendekar, jagoan, ulama, rakyat jelata dan sebagainya. Kesemuanya telah menginap di lorong tanpa cahaya nan sempit. Kecuali bagi mereka yang selama hidupnya banyak mengisi celengan masjid dan tabungan deposito akhirat lainnya.
Suka atau tidak suka tempat itu pasti akan kita tinggali. Karena itu mari kita bersiap-siap. Mari kita berbenah diri, mari menghitung amal kebajikan dan dosa yang pernah kita perbuat. Mari perbanyak amal kebajikan karena sungguh hanya amal kebajikan itulah menjadi saudara dan sahabat yang paling setia.
Berkaitan dengan sumbangan celengan masjid ini, ada kisah yang menarik dan patut untuk dicontoh. Kisah tersebut dikemukakan oleh rekan sejawat penulis saat mengantar keluarga di peristirahatannya yang terakhir (kubur). Saat itu dia berkata bahwa sang mayat ini, setiap hari Jum’at selalu menunggu siapa saja yang lewat-di depan rumahnya untuk berangkat ke masjid melaksanakan shalat Jum’at.
Hal itu dilakukan sekedar ingin menitipkan uangnya di celengan masjid. Karena kebetulan perempuan sehingga tidak wajib berangkat shalat Jum’at di masjid. Kehidupannya sangat sederhana. la rakyat biasa dan tidak memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun karena kesungguhan dan keyakinannya yang kuat sehingga ia selalu terdorong menambah deposito akhiratnya melalui celengan masjid demi untuk menambah cahaya di alam kubur .
Karena itu kita berharap semoga janji tersebut dapat kita hayat, kita resapi dan kita wujudkan dalam kehidupan keseharian. Baik melalui ibadah ritual ( Shalat, puasa, zakat –dan haji ) maupun melalui ibadah social melalui celengan masjid. Celengan masjid saya, masjid Anda dan masjid kita semua.
Namun, bila nasib celengan masjid potretnya terus berlangsung seperti itu, maka mungkinkah celengan masjid tersebut masih perlu dipertahankan kehadirannya di dalam masjid ? Atau diupayakan dalam bentuk yang lain, semisal di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi yang tidak ada celengan masjid. Jawabnya tentu terpulang,pada perhatian dan keseriusan pemerintah, ulama, tokoh masyarakat. Terutama perhatian dan keseriusan para tokoh agama dan cendekiawan muslim yang ada di republik ini dalam memikirkan hal tersebut.
Kita berharap, semoga Tuhan senantiasa menurunkan hidayah dan taufiq-NYA kepada kita semua agar kita tetap diberikan kekuatan, kemampuan, ketulusan dan keberanian untuk membelanjakan sebagian reski yang diberikan ke dalam celengan masjid. Semisal keberanian dan ketulusan memasukkan sumbangan kado pengantin.
Hal ini perlu kita panjatkan doa, karena berapa banyak orang yang telah diberikan reski berupa pangkat, jabatan, kekuatan, kesehatan, keselamatan, kemampuan dan sebagainya. Namun sering lupa diri dan lupa pada yang maha memberi semua itu. Bahkan menjadi kikir, bakhil, angkuh, sombong dan lupa sujud kepada sang maha pencipta.
Adalah suatu prilaku yang sangat memalukan dan memilukan di hadapan Allah Swt. Apabila terdapat seseorang yang mengaku beriman, lalu mengingkari sendiri janji yang diucapkan . Janji tersebut diucapkan saat melaksanakan shalat minimal lima kali sehari semalam melalui nomor telepon 42443. Yakni Shalat Isya, Subuh, Dhuhur, Ashar dan Magrib.
Melalui telepon itulah, setiap orang beriman berjanji: Ya Allah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, usahaku, hidup dan matiku, seluruhnya kuserahkan kepadaMU. Janji tersebut direkam, dicatat dan dibukukan dalam file yang sangat rapi untuk digunakan sebagai salah satu alat bukti yang akan dipergunakan pada pengadilan akhirat kelak.
Semoga tulisan ini dapat menggugah hati dan pikiran kita semua untuk kembali merenung sekaligus bercermin bahwa hidup ini hanyalah tempat transit semata, tempat transit untuk mencari bekal yang akan digunakan dalam perjalanan menuju akhirat. Karena itu setiap perbuatan manusia akan dimintakan pertanggung-jawabannya, bahkan setiap pikiran, ucapan, nafas dan gerak-gerik manusia senantiasa dibidik, direkam dan dibukukan oleh Malaikat. Termasuk sikap, perlakuan dan tindakan diskriminatif yang sering kita lakukan terhadap celengan masjid.
Filed under: Opini Islami, Opini Islami
Komentator